Selasa, 21 Desember 2010

aku dan hidupku

“dan yang akan mewakili Jawa Barat dalam kontes Putri Indonesia adalah……DHINA PATRICIA PUTRI”. Semua orang bertepuk tangan untuk ku. Keyakinan ku berbuah manis. Aku dengan percaya diri berdiri dan melangkah menuju podium.
********
Aku adalah DHINA PATRICIA PUTRI. Gadis yang akan mewakili Jawa Barat untuk melaju ke panggung pemilihan Putri Indonesia tahun ini. Selain itu aku aktif dalam organisasi Pecinta Alam, organisasi Pecinta Korea, dan aku juga salah satu mahasiawa yang sangat menggemari bidang jurnalistik. Aku sekarang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung.
Selain itu asal kalian tahu saja, aku adalah putri tunggal keluarga Wijaya. Ayahku, Herman Wijaya, adalah salah satu wiraswatawan ternama di kota kami. Dan ibu ku adalah pemilik butik kenamaan di Kota bandung. Walaupun mereka sibuk, aku tak pernah kehilangan kasih sayang dari mereka. Mereka tetap menjadi orang tua yang mengerti aku. Hidupku bertambah lengkap, karena aku memiliki kekasih. Sebut saja Dimas. Kami berdua mengambil jurusan yang sama, dan mata kuliah kami kebetulan sama.
Oh iya, hari ini sepulang kuliah aku ada pertemuan organisasi Korea. Kemudian aku akan ke PMI untuk menyiapkn acara dalam rangka menyambut hari AIDS sedunia. Rasanya sangat menyenangkan bisa mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat dan tentunya membanggakan orang tua.
Hidupku serasa sempurna. Aku cantik. Aku berprestasi dan aku terkenal. Teman-teman selalu memujikau “Na, kamu itu sempurna banget. Orang Tua mu pasti bangga punya anak kayak kamu”. Aku selalu tersenyum saat mereka mengatakan itu. Mereka benar. Hidupku memang sangat menyenangkan. Memiliki orang tua yang penyayang, pacar yang baik, dan teman-teman yang selalu mendukung ku adalah hal yang sangat menyenangkan dan tak ternilai.
Selesai dari PMI, rencananya aku akan langsung pulang. Karena besok pagi-pagi sekali, ayah dan bunda ku akan berangkat ke Australia untuk sekedar jalan-jalan melepas penat. Mengingat kesibukan mereka yang sangat padat. Aku pikir, jalan-jalan akan membuat mereka semangat mereka kembali. Dan selama ayah dan bunda ku ke Australia, ku akan tinggal bersama nenek. Aku tidak ikut, karena kegiatanku disini banyak. Belum lagi masa karantina Putri Indonesia akan segera dimulai. Tapi, mereka akan pulang 2 hari sebelum pemilihan Putri Indonesia.
“selamat tinggal ayah sama bunda. Hati-hati dijalan ya. Aku akan sangat merindukan kalian.” Kubisikkan kalimat itu ditelinga ayah dan bunda ku sesaat sebelum mereka masuk pesawat. Aku merasa aku akan sangat merindukan mereka.
Setelah ayah dan bundaku berangkat, aku juga berpamitan kepada nenek untuk berangkat kuliah. Seperti biasa, aku berangkat sekolah bersama Dimas.
Dijalan aku dan Dimas sempat ngobrol tentang banyak hal.
“kamu nggak nyesel Na, nggak ikut ke Australi???” Tanya Dimas.
“ngaak” jawabku santai sambil membaca buku.
“kalau aku jadi kamu, aku bakal ikut mereka. Kan di Australi banyak bule yang keren Na” celoteh Dimas.
“Oh, gitu ya. Jadi kamu mau kalau aku pacaran sama bule??” aku pura-pura marah.
“nggak sayang. Kan cuma bercanda. Masa gitu aja marah si???” hibur Dimas.
Dan akhirnya kami tertawa bersama di mobil. Rasanya sangat menyenangkan sekali bisa bercanda tanpa harus marah seperti ini. Dimas memang pahlawanku. Dia selalu tahu dan bisa menghiburku saat aku sedang sedih.
Sampai di kampus, kami langsung menuju ke kelas. Kami nggak mau terlambat, karena dosen yang satu ini, galaknya minta ampun. Hape ku berdering. Dari nomor yang tidak aku kenal. Aku mengabaikannya. Kemudian berdering lagi. Aku akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.
“halo, selamat siang” sapaku.
“selamat siang. Bisa saya bicara dengan Dhin Patricia Putri?” Tanya orang diseberang sana.
“ya. Saya sendiri” jawabku.
“begini mbak Dhina. Kami dari pihak Garuda Airlines akan mengabarkan bahwa pesawat yang ditumpangi kedua orang tua anda., mengalami kecelakaan di Laut Jawa dan sampai saat ini, bangkai pesawat belum ditemukan.”
“jadi maksud Anda, kedua orang tua saya meninggal??” Tanya ku tak sabar.
“sekali lagi, kami minta maaf Mbak. Kami belum bisa memastikan hal itu. Selamat Siang”.
Tuuut…tuut…tuuut…
Telepon ditutup.
“kenapa Na??” Tanya Dimas yang ternyata sudah ada di samping ku.
“ayah sama bunda Dim….ayah bundaku….” Dan kemudian semuanya gelap.
Aku bangun. Ku lihat nenek sedang menangis dan Dimas terlihat sangat shock. Aku mencoba berdiri.
“nek, ayah sama bunda kenapa?? Mereka selamat kan nek??” Tanya ku pada nenek yang sedang duduk bersandar.
Nenek berjalan menuju tempat ku berdiri, kemudian memelukku.
“ayah bunda kenapa nek??” Tanya ku mulai menangis.
“Na, ayah bunda mu meninggal dalam kecelakaan itu. Jenazahnya sudah ditemukan. Dan besuk pagi, akan diantar untuk langsung kita makamkan. Kamu setuju??” jelas nenek sambil melepas pelukanya pada ku.
Aku tak menjawab. Aku tak tahu harus bicara apa.
“Na?? kamu setuju kn dengan rencana nenek?” Tanya Dimas.
Aku mengangguk tanpa bicara sepatah kata pun. Kemudian Dimas memelukku.
“sabar ya Na. Ikhlas.” Hibur Dimas.
Keesokkan harinya, pukul 08.00 WIB jenazah ayah bundaku datang. Aku tak kuasa menahan air mata ku. Aku menangis. Air mata ku tak mau berhenti. Ayah dan bunda terbujur kaku. Tak ada senyum di wajah mereka seperti biasanya. Nenek menarikku dari jenazah bunda. Aku menurut.
Setelah beberapa acara, pukul 10.00 WIB jenazah di bawa ke pemakaman. Aku tak kuasa lagi. Aku menangis. Aku berteriak. Aku ingin ayah dan bundaku kembali. Ini tidak adil. Aku ingin mati bersama mereka. Apa Tuhan tidak tahu, bahwa ak sangat membutuhkan mereka? Bahwa mereka adalah pelita ku. Bahwa mereka adalah senyum dan bahagai ku. apa Tuhan tidak tahu??. Aku masih berteriak, dan Dimas membawa ku ke mobil.
“Na, kamu ynag sabar. Kamu harus aikhlas. Mana Dhina yang aku kenal??? Dhina yang selalu tersenyum. Dhina yang kuat dan tak pernah menagis?” Dimas masih mencoba menghibur ku.
“Tuhan pasti punya rencana dibalik ini semua Na. pasti. Kamu percaya kan??” Tanya Dimas.
“iya” jawab ku lemah.
Aku menunggu di mobil sampai upacara pemakaman selesai bersama Dimas. Setelah upacara pemakaman selesai, aku pulang bersama nenek. Setelah sampai dirumah, nenek membiarkanku sendirian dikamar. Aku tak keluar kamar hari ini. Nenek juga hanya masuk kamar ku untuk mengantarkan makanan. Di kamar, aku tak henti-hentinya menangis. Baru kemarin aku mengantarkan ayah dan bunda ku ke bandara dengan tertawa. Tapi sekarang? Mengapa dunia begitu kejam Tuhan? Mengapa kau begitu menginginkan orang tua ku Tuhan?
Aku terbangun dari tidurku. Mata ku terasa capek. Aku ingin minum. Aku turun dari kamar ku. aku melihat nenek sedang berbicara pada Bi Sum,pembantu kami. Aku langsung menuju dapur unutk mengambil air putih. Aku mengambil air putih dan membawanya ke kamar. sesampainya di kamar, aku membuka Diary ku. Aku menulis di dalamnya. Dan sasaat kemudian aku baru ingat bahwa hari ini, PMI mengadakan acara memperingati hari AIDS. Aku lupa. aku harus datang. Sudah cukup kesedihan yang aku alami, aku harus baangkit. Aku segera ganti baju. Aku membawa laptop dan tas selempang. Aku turun dan berpamitan pada nenek.
”nek, aku mau ke PMI. Hari ini da acara di PMI” kata ku buru-buru.
“sekarang? Apa kamu yakin. Kita kan masih dalam suasana berkabung.”larang nenek.
“iya nek. Acaranya sekarang. Bolh ya nek?? Ya??” rengek ku.
“iya, tapi kamu harus dijemput Dimas. Nenek nggak mau kamu nyetir sendirian.” Tegas nenek
“yah…nenek. Dimas hari ini ada kuliah nek, jadi nggak mungkin nganterin aku. Ya udah ya nek, aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Aku mencium tangan dan pipi nenek.
Aku berangkat. Aku menyetir sendiri. Hari ini, Bandung macet sekali. Aku panik. Saat keluar dari tol, aku buru-buru. Ku injak pedal gas, dan aku melaju dalam kecepatan tinggi. Tanpa aku sadari, dari arah berlawanan ada truk yang juga melaju kencang. Tanpa pikir panjang, aku banting setir ke kiri dan menginjak rem. Karena kecepatan ku yang terlalu kencang, mobil tak bisa ku kendalikan. Mobil terus melaju ke bagian kiri jalan. Dan dari belakang, ada mobil lain yang menabrak moblku. Sesaat aku tak tahu apa yang terjadi karena yang aku dengar hanyalah ledakan. Dan kemudian aku tak thu apa yang terjadi.
Saat aku bangun, aku melihat ada banyak alat di tubuhku. Kepala ku pusing, badanku serasa sakit dan tak bisa bergerak.
“nek…” aku memanggil nenek.
“Dhina?? Kamu sudah sadar? Alhamdulilah, kamu sudah sadar. Kmu sudah koma 3 hri sayang. Nenek khawatir sama kamu. Kamu nggak papa kan? Apanya yang sakit??” Tanya nenek.
“nek, aku kenapa?? Kenapa kaki ku nyeri sekali?? Nggak bisa digerakkin nek..” rengek ku
“sayang, kamu yang sabar ya, kata dokter kamu akan lumpuh. Kecelakaan kemarin membuat salah satu syaraf mu putus dan hal ini menyebabkan kelumpuhan permanen” tutur nenek.
“berarti aku akan lumpuh selamanya? terus bagaimana dengan kontes Putri Indonesia nek? Acara itu tinggal 2 minggu lagi” aku menangis di tempt tidurku.
“sudah ada yang akan mengganti kan kamu sayang. Kamu harus sabar ya…” hibur nenek.
Aku diam. “aku lagi pengen sendiri nek..” kataku pda nenek.
Kemudian nenek keluar kamar. aku masih belum mau berbicara pada siapapun beberapa hari kemudian. Termasuk pada Dimas. Dia hanya datang sebentar. aku masih sedih dan terpukul.
Akhirnya setelah 1 bulan di rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Dan selama aku dirumah sakit, Dimas hanya sekali menjengukku. Selebihnya, tidak. Bahkan sekadar memberi kabar lewat SMS pun tidak. Ahh, aku harus melupakan nya. Ternyata dia tak tulus.
Hidupku sekarang berubah. Aku yang dulunya dipuja, aku yang dulunya selalu disanjung. Aku yang cantik, aku yang terkenal. Semua itu sekarang berubah. Orang-orang tak mau melihatku lagi. Jangankan melihat, melirikku pun tidak. Aku sekarang terpuruk. Aku bukan lagi Dhina ‘Si Putri Jawa Barat’, bukan Dhina yang aktif dalam organisasi. Aku hanya Dhina, gadis yang bekerja sebagai penerjemah untuk mengisi waktu luangku. Tapi itu semua tak penting. Yang terpenting sekarang adalah, aku mash memiliki nenek. Nenek yang selalu menyayangiku. Aku tetap akan menjadi Dhina, walaupun fisikku telah berubah.